Selasa, 31 Agustus 2010

Malam Nuzulul Qur’an

Oleh : Nurjaeni.
Pengasuh Pesantren AlQuran dan Teknologi DURIYAT MULIA, Bandung
www.duriyat.or.id

Turunnya Al-Qur’an (Nuzulul Qur’an) untuk yang petama kalinya biasa diperingati oleh umat Islam yang dikemas dalam suatu acara ritual yang disebut dengan Nuzulul Qur’an. Turunnya Al-Qur’an untuk yang pertama kalinya merupakan tonggak sejarah munculnya satu syari’at baru dari agama tauhid yaitu agama Islam. Sebagai penyempurna dari agama-agama tauhid sebelumnya.
Al-Qur’an turun sebagai pemecah kebuntuan di saat bejatnya moral bangsa Arab sudah sampai pada puncaknya, budaya jahiliyah lagi merajalela, barbarismenya hukum padang pasir dengan filosofi siapa yang kuat dialah yang menang dan hancurnya tatanan kemasyarakatan karena tidak adanya aturan hukum yang baku. Oleh karena itulah Allah membuat satu penyelamatan dengan sebuah skenario yang jitu yang menyelamatkan bangsa Arab dari kehancuran dengan diutusnya seorang nabi akhir zaman yaitu Muhammad saw.
Menurut tarikh Islam, Al-Qur’an turun untuk pertama kalinya pada tanggal 17 Ramadhan di saat Muhammad sedang berkhalwat (semedi) di gua Hira. Firman Allah: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan”(97:1). Yang dimaksud dengan malam kemuliaan menurut para ulama adalah malam Lailatul Qadar. Atau dalam ayat lain Allah mengatakan: “Haa miim [Demi kitab (Al-Qur'an ) yang menjelaskan]. Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi, dan sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan” (44 : 1 – 3). Gua Hira yaitu gua yang terletak di Jabal Nur kurang lebih 2 km dari kota Makkah. Di gua itulah Muhammad merenung dan berfikir meminta petunjuk kepada yang Maha Kuasa untuk merubah moral bangsanya yang sudah melebihi batas toleransi. Saat itulah beliau didatangi Malaikat Jibril yang diutus oleh Allah untuk menyampaikan wahyu untuk yang pertama kalinya, dan saat itu Muhammad berusia 40 tahun. Yang paling menarik dari proses turunnya wahyu itu adalah disaat Jibril memerintahkan kepada Muhammad untuk iqra (membaca). Jibril mengatakan: “Iqro yaa Muhammad !” (Bacalah hai Muhammad). Saat itu Muhammad menjawab: “Maa ana biqori?”. Untuk pengertian ini para ulama berbeda pendapat, ada yang mengatakan bahwa pengertiannya adalah “Bukanlah aku orang yang bisa baca?”. Atau ada juga yang mengartikan “Apa yang harus aku baca?”. Konotasinya adalah jika kita mengambil pengertian yang PERTAMA berarti kita menganggap Muhammad tidak bisa membaca (bodoh). Sedangkan pengertian yang KEDUA konotasinya adalah bahwa Muhammad bisa baca tapi dia bingung apa yang harus dibacanya.
Penulis sendiri sependapat dengan pengertian yang KEDUA, yaitu Muhammad bisa baca tapi bingung apa yang harus dibacanya, bagaimana pendapat anda?. Karena pengertian yang pertama sepertinya sangat merendahkan Muhammad Rasulullah. Dan ini mengandung unsur pelecehan kepada nabinya umat Islam. Sementara sejarah sudah membuktikan sejak dari usia 12 tahun Muhammad sudah biasa diajak berdagang ke luar negeri dan sudah terbiasa dengan transaksi jual beli di negeri orang bersama pamannya (Abu Thalib) yaitu ke negeri Syam atau Syiria (sekarang Suriah). Menurut logika orang sehat, bahwa mustahil orang yang sudah sejak kecil belajar dan melakukan berdagang ke luar negeri yang levelnya sudah eksport import, apalagi disaat beliau berusia 25 tahun sudah dipercaya sebagai saudagar dan menjadi orang kepercayaan Siti Khodijah (yang nantinya menjadi istri beliau) itu dikatakan sebagai orang bodoh. Sangat ironis memang kedengarannya, tapi itulah yang sering didengung-dengungkan orang bahkan dibesar-besarkan oleh umat Islam sendiri. Padahal itu adalah hasil kerjanya para orientalist yang bertujuan meremehkan umat Islam. Menurut penulis sendiri orang yang sudah terbiasa pulang pergi ke luar negeri pasti mempunyai ilmu dan wawasan yang luas, pergaulannya sudah internasional dan yang sudah pasti lagi dia menguasai bahasa asing sebagai modal pergaulannya. Anda boleh setuju atau tidak dengan pendapat saya ini tentunya, tetapi silahkan mengutarakannya.
Mungkin di benak anda muncul pertanyaan, apakah tidak bertentangan pernyataan (kedua) itu dengan Al-Qur’an itu sendiri yang menyebut bahwa Muhammad adalah nabiyyil ummiyyi. Pengertian ummi di sini bukan bodoh ataupun tolol, tetapi pengertian ummi di sini adalah ‘Orang yang tidak tahu’. Pemikirannya adalah bahwa ‘orang yang tidak tahu’ itu belum tentu pengertiannya sama dengan ‘bodoh’. Dan saya cenderung mengartikan ummi seperti itu karena Muhammad tidak tahu apa yang harus baca dan bagaimana caranya memperbaiki moral bangsanya yang sudah bejat saat itu.
Selanjutnya Jibril membacakan beberapa ayat dari surat Al-Alaq (96) yang kemudian diikuti oleh Muhammad dengan lancar dan fasih: “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan qalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. (96 : 1 – 5)
Inilah ayat yang pertama turun yang menjadi tonggak sejarah bagi umat Islam dan kerasulan Nabi Muhammad SAW. Selanjutnya Allah menurunkan ayat-ayat Al-Qur’an lainnya selama 22 tahun 2 bulan 22 hari.
Tapi kita perlu ketahui bahwa Al-Qur’an ini benar benar wahyu Allah, bukan rekayasa bangsa Arab dan bukan hanya untuk bangsa Arab saja. sehingga Al-Qur’an tetap terjaga kemurniannya sampai akhir zaman. “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami yang benar-benar menjaganya”.(15 : 9) Para mufassir (ahli tafsir) menjelaskan yang dimaksud dengan “Kami” di sini bahwa Allah juga melibatkan orang-orang mu’min yang huffadh (hapal) Qur’an untuk menjaga kemurnian Al-Qur’an. Makanya tidak pernah terputus dan habis pada tiap-tiap generasi para penghafal Al-Qur’an selalu bermunculan. Maka tidak aneh jika ada orang yang berniat merubah dan menyelewengkan kebenaran Al-Qur’an pasti akan ketahuan. Wallaahu ‘alam bishshowaab.

Sumber: http://ofaragilboy.com/
 
back to top