Kebesaran sejarah sepak bola Indonesia, tak bisa melupakan era akhir 1960-an sampai akhir 1970-an. Saat itu Indonesia menjadi kiblat Asia. Dan, salah satu tokoh kebesaran itu adalah Iswadi Idris. Iswadi yang merupakan legendaris sepak bola nasional dan menjadi pemain nasional pertama merumput di luar negeri bersama salah satu klub sepak bola Australia, pernah menjadi ikon Timnas Indonesia era 60-70-an. Pemain yang dijuluki Boncel karena pendek (tinggi 165 cm) ini, termasuk pemain paling berbakat yang dimiliki Indonesia. Karena kehebatannya pula, dia termasuk pemain yang ditakuti Asia. Meski pendek, Iswadi pemain ulet dan cerdas. Dia juga serbabisa. Mengawali karier sebagai bek kanan, tapi dia juga sering dipasang sebagai gelandang kanan. Bahkan di akhir kariernya di timnas tahun 1980, dia malah diplot sebagai sweeper.
Hebatnya, dia bisa menjalani semua posisi itu dengan baik. Bersama Sutjipto Suntoro, Jacob Sihasale dan Abdul Kadir, dia punya popularitas besar di Asia. Itu semua berkat permainan mereka yang memang luar biasa. Bahkan, empat sekawan ini dinilai sebagai penyerang tercepat.
Di masa itu, sepakbola Indonesia sangat dihormati Asia. Bahkan, bersama Burma (sekarang Myanmar, Red), Indonesia merupakan kekuatan utama. Apalagi, timnas Indonesia saat itu sudah biasa bertemu tim-tim besar seperti PSV Eindhoven, Santos, Fiorentina, Uruguay, Sao Paulo, Bulgaria, Jerman, Uni Soviet dan masih banyak lagi.
“Jepang, Korea Selatan dan tim Timur Tengah belum punya cerita. Kekuatan besar dimiliki Indonesia dan Burma,” jelas Iswadi dalam wawancara dengan Kompas.com di PSSI tahun lalu. Tentang berbagai posisi yang dia jalani, Iswadi mengaku bisa menikmatinya. “Posisi yang sering saya perankan adalah sayap kanan. Saya suka menusuk ke gawang lawan. Entah sudah berapa gol yang saya ciptakan, yang jelas lebih dari 100 kalau dijumlah dari awal sampai akhir karier,” jelas Iswadi Idris yang juga pengurus PSSI itu.
Bakat yang dimiliki Iswadi memang istimewa. Dia tak hanya punya kecepatan lari, tapi juga teknik sepakbola yang baik. Selain itu, visi permainan Iswadi juga luas, ditopang kemampuannya memimpin rekan-rekannya. Wajar jika dia segera dijadikan kapten timnas sejak awal 1970-an sampai 1980.
Menjadi pemain sepakbola yang lama membela timnas dan dikenal luas sampai seantero Asia, sebenarnya tak pernah dipikirkan Iswadi. Awalnya dia malah menyukai atletik, karena punya kecepatan lari. Baru pada 1961, dia membaca temannya memperkuat Persija Junior di koran Pedoman Sport. Iswadi yang sejak umur 4 tahun tinggal di Kramat Lima, Jakarta Pusat, kemudian tertarik bermain bola. Awalnya bergabung dengan Merdeka Boys Football Association (MBFA), kemudian ke Indonesia Muda (IM). “Kebetulan rumah saya dekat Taman Ismail Marzuki (TIM). Dulu masih berupa kebon binatang. IM berlatih di Lapangan Anjing, tempat melatih anjing. Akhirnya saya pindah ke klub itu,” katanya.
Iswadi pun semakin menikmati sepakbola, bahkan serius menggelutinya hingga menjadi salah satu legenda Indonesia. “Sepakbola hobi yang berharga. Dulu kami bermain ingin terkenal, juga demi pengabdian kepada bangsa. Jadi semangatnya berlebihan,” terangnya. Selama kariernya sebagai pemain sepakbola, bukan sebuah gol indah yang membuat Iswadi Idris kepikiran sampai sekarang. Justru kegagalannya mencetak gol. Itu terjadi tahun 1972, ketika Indonesia menjamu Dynamo Moscow dalam partai uji coba di Senayan. “Kiper Dynamo adalah penjaga gawang terbaik abad ini, Lev Yashin. Saya bertekad menaklukkannya agar menjadi kenangan terindah. Kesempatan ada, tapi tak saya manfaatkan. Itu penyesalan yang masih terpikir sampai sekarang,” tutur Iswadi.
Waktu itu, dia menerima umpan terobosan dari Sutjipto. Dalam keadaan bebas dengan posisi yang sama, dia biasanya menendang bola ke gawang dan hampir selalu gol. “Tapi karena karisma Lev Yashin, saya seperti tak melihat ada celah untuk mencetak gol. Saya justru mengumpankan bola ke Jacob Sihasale. Dia tak siap, karena biasanya saya menendang sendiri dan gol. Habis pertandingan, pelatih Djamiat Dahlar pun kecewa karena saya menyia-nyiakan kesempatan,” sesalnya lagi.
DIISUKAN KENA SUAP
Menjadi bintang besar memang menyenangkan. Tapi, tak selamanya selalu penuh puja-puji. Demikian juga yang dialami Iswadi. Dia dan rekan-rekannya pernah syok karena diisukan terkena suap, saat membela Indonesia di babak Pra Piala Dunia 1978 lawan Singapura.
Pada pertandingan di Singapura, 9 Maret 1977, Indonesia secara mengejutkan dikalahkan tuan rumah 0-4. Padahal Singapura tim kecil dibanding Indonesia. Sebelumnya, koran-koran Indonesia dan Singapura meniupkan isu bahwa Iswadi dan kawan-kawannya menerima suap.
“Oleh sebuah koran, saya diceriterakan menyelinap lewat jendela keluar dari hotel pemain. Katanya saya mendatangi Karpak, sebuah nightclub di Singapura, dan menerima suap. Itu tak pernah terjadi. Saya dan teman-teman tak pernah menerima suap. Sueb Rizal (pemain seangkatannya, Red) tahu persis saya tak ke mana-mana, karena saya sekamar dengannya. Saya kira, isu suap sengaja diembuskan pihak Singapura agar mental kami turun dan tim Indonesia kacau,” tuturnya.
Kasus itu ternyata berbuntut panjang. Seminggu kemudian, Iswadi memperkuat Persija di Piala Marahalim di Medan. “Kebetulan, sebagian besar pemain timnas Indonesia memperkuat Persija. Begitu kami masuk lapangan, langsung dlempari benda keras oleh penonton. Kami mencoba tabah meski dituduh menerima suap,” jelasnya.
Untungnya, Persija tampil memukau. Setelah mengalahkan juara bertahan dua kali (Australia), kemudian menundukkan Thailand. Para penonton Medan pun akhirnya kembali memberikan dukungan penuh, apalagi PSMS Medan sudah teringkir.
“Di final lawan Jepang, kami seperti membawa nama Indonesia. Penonton memberi dukungan penuh dan kami menang 1-0. Itu pengalaman yang menyenangkan, sekaligus sangat memuaskan. Kami bisa menunjukkan sebagai pemain yang disiplin, meski dihantam isu suap,” ceritanya.
Iswadi sendiri tampil memukau di Piala Marahalim. Tapi, itu hanya salah satu pembuktian atas kehebatannya. Selama 12 tahun kariernya di timnas (1968-1980), dia ikut membuat sepakbola Indonesia disegani di Asia. Sebutannya boleh Boncel, tapi prestasinya mengangkasa.
Karier
Sebagai Pemain
Bersama dengan Sutjipto Soentoro, Abdul Kadir, dan Jacob Sihasale, dikenal dengan sebutan “kuartet tercepat di Asia” berkat kecepatan dan kelincahan mereka yang luar biasa. Iswadi juga terkenal sebagai pemain yang memiliki visi yang luas, disiplin, keras, dan berkarakter, baik di dalam maupun luar lapangan. Karena sosoknya tersebut, ia terpilih menjadi kapten timnas sejak awal 1970 sampai 1980. Tak hanya piawai di posisi gelandang, sejumlah posisi lainnya pun sempat ia lakoni selama membela timnas, mulai dari bek kanan hingga sweeper. Ia pun menjadi pelopor pemain serba bisa yang andal dalam berganti-ganti posisi sebelum diteruskan oleh Ronny Pattinasarani. Berkat kepiawaiannya tersebut Bang Is berhasil menjadi pemain Indonesia pertama yang dikontrak oleh klub asing yaitu Western Suburbs, Australia di tahun 1974-1975.
Sebagai Pelatih
Karier lainnya adalah sebagai pelatih. Ia pernah melatih tim Perkesa Mataram atau Mataram Putra, juga timnas nasional pra-Olimpiade 1988 bersama dengan M. Basri dan Abdul Kadir yang dikenal dengan sebutan “trio Basiska”.
Sebagai Pengurus PSSI
Tahun 1994, Bang Is masuk ke dalam jajaran pengurus PSSI. Sejumlah jabatan pernah dipercayakan kepadanya mulai dari Direktur Kompetisi dan Turnamen PSSI, anggota Komisi Disiplin PSSI hingga Direktur Teknik PSSI. Terakhir ia menjabat sebagai Manajer Teknik Badan Tim Nasional serta tim monitoring bersama Risdianto dan Ronny Pattinasarani.
Berpulang
Iswadi Idris terakhir berdomisili di Maguwoharjo, Depok, Sleman, Yogyakarta. Ia meninggal dunia di Jakarta, Jumat (11/7/2008) malam, sekitar pukul 20.00 WIB, akibat terserang stroke dan dimakamkan di TPU Karet Bivak, Jakarta.
Suasana haru meliputi rumah duka Iswadi Idris di Perumahan Buncit Indah, Jl Mimosa II Blok S Nomor 15, Jakarta Selatan. Bintang sepakbola Indonesia era 1960 dan 1970-an itu, harus berpulang, karena sakit stroke, pada Jumat (11/7) malam. Almarhum yang lahir di Banda Aceh, 18 Maret 1948 meninggalkan seorang istri Rahma Tuti serta tiga orang anak, Kusuma Ayu Kinanti, Tubagus Dani Putranto, dan Adinda Snitaningrum Kinasih. Berbagai kalangan insan sepak bola tampak memenuhi rumah duka. Beberapa di antaranya Rony Pattinasarany dan Danurwindo. Menurut Ronny yang pernah menggantikan Iswadi Idris sebagai kapten timnas Indonesia, “Bang Is adalah sosok pekerja keras, kadang-kadang temperamen, namun banyak memberikan wejangan ke kita-kita.” Sementara pelatih Persija, Danurwindo menambahkan, “Pak Is orang yang mempunyai pendirian yang kuat dan berkarakter.” Saat ini jenazah sedang disembahyangkan di Masjid Al Ikhlas yang berada tidak jauh dari rumah duka. Baru pukul 13.00 jenazah akan diberangkatkan ke TPU Karet Bivak. Di sana Noegroho Besoes akan memimpin upacara pemakaman
Dunia sepak bola nasional kembali kehilangan salah satu putra terbaiknya. Iswadi Idris mengembuskan nafas terakhirnya, Jumat (11/7), pukul 20.15 Wib di Rumah Sakit MMC Kuningan, Jakarta Selatan setelah mengidap penyakit stroke yang dideritanya beberapa bulan terakhir ini.
Gelandang serang terbaik yang pernah dimiliki Timnas Indonesia itu meninggal dalam usia 60 tahun. Almarhum yang lahir di Banda Aceh, 18 Maret 1948 meninggalkan seorang istri Rahma Tuti serta tiga orang anak: Kusuma Ayu Kinanti (25), Tubagus Dani Putranto (23), dan Adinda Snitaningrum Kinasih (21). Ayu dan Tubagus telah menyelesaikan kuliahnya, sedangkan Adinda duduk di bangku kuliah Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Salah seorang putri Iswadi Idris, Adinda, menuturkan sebelum dirawat di RS MMC Kuningan, ayahnya sempat dilarikan ke RS Jakarta Medical Center, Buncit, Selasa (8/7) malam. Sejak terjatuh di kediamannya di Perumahan Buncit Indah, Jalan Mimosa II Blok F/15, Iswadi tidak pernah lagi sadarkan diri hingga ajal menjemputnya. Saat mengembuskan nafas terakhir, Iswadi didampingi istri dan ketiga anaknya serta keluarga dekat. Sebelum meninggal, sejumlah tokoh dan rekan Iswadi seperti mantan Ketua KONI Agum Gumelar, Djohar Arifin Husein, Dony Patty dan para mantan pemain sepak bola nasional sempat membesuk almarhum di RS MMC Kuningan.
Menurut Adinda, almarhum akan dibawa ke rumah duka, namun hingga malam ini belum bisa memastikan di mana ayahnya akan dimakamkan.
Manajer Pelita Jaya, Rahim Soekasah yang pernah bersama almarhum Iswadi Idris duduk di kepengurusan PSSI mengatakan sepak bola Indonesia sangat kehilangan sosok yang mencintai sepak bola. “Iswadi memiliki dedikasi yang tinggi dalam memajukan sepak bola di tanah air, hal ini dibuktikan Iswadi yang selalu memantau pemain muda di daerah-daerah agar kelak bisa menjadi pemain nasiona yang andal,” ungkapnya dihubungi melalui telepon selulernya. Iswadi, diakui Rahim, selalu ngotot agar dikirim PSSI menyaksikan setiap pertandingan Liga Indonesia di daerah hanya untuk melihat apakah ada pemain muda berbakat. “Mungkin karena ia dipercaya oleh pengurus PSSI menjadi tim pemantau pemain muda, makanya ia selalu ngotot pergi ke daerah, hal ini dia lakukan hanya ingin melihat tim nasional masa depan Indonesia bisa kembali berjaya,” katanya. Rahim mengaku sempat membesuk Iswadi saat masih dirawat di RS MMC. “Dokter memang sebelumnya sudah menyakinkan bahwa penyakit Iswadi tidak bisa ditolong lagi, karena pendarahan di kepala yang sudah menjalar,” jelasnya