Kekerasan terhadap Muslim Rohingya mendapat kecaman dari seluruh dunia. Termasuk dari Indonesia. Mulai dari pemerintah, anggota DPR, para politikus, hingga ketua ormas dan tokoh pemuda, angkat bicara. Sayangnya sebagian besar hanya bisa mengecam, tanpa berbuat apa-apa.
Maka kata-kata seperti "kami mengecam", atau "kami mendesak PBB turun tangan", atau "kami meminta kekerasan pada Muslim Rohingya dihentikan", mendadak sering terdengar. Tapi siapa yang bisa menghentikan kekerasan di Myanmar kalau hanya dengan kata-kata. Suu Kyi yang kini ikut diam soal Rohingya pun butuh puluhan tahun untuk melawan junta militer Myanmar.
Maka yang dilakukan oleh Relawan kemanusian dari Aksi Cepat Tanggap (ACT) Indonesia mungkin sebuah terobosan. Mereka memberangkatkan seorang relawannya ke Myamnar, Minggu (30/7) sore. Relawan bernama Andhika Purbo Swasono itu akan menjadi advanced team.
Dia membawa uang Rp 500 juta yang berasal dari sumbangan masyarakat Indonesia. Uang itu rencananya akan digunakan untuk bantuan pangan dan obat-obatan. ACT juga berniat memberangkatkan seorang dokter ke perbatasan Bangladesh-Myanmar untuk membantu Muslim Rohingya di sana.
"Semoga ini bisa ditiru dan tidak hanya bicara. Masa Indonesia yang merupakan Ketua ASEAN tidak bisa berbuat apa-apa," kata Communication Manager ACT, Apiko Joko Mulyono, kepada merdeka.com, Minggu (29/7).
Tepat sehari sebelum ACT memberangkatkan relawannya, Bangladesh angkat bicara soal nasib Muslim Rohingya. Perdana Menteri Bangladesh, Sheikh Hasina, menyatakan negaranya tidak ingin ikut campur soal nasib pengungsi Rohingya. Kekerasan dua bulan terakhir yang menimpa etnis minoritas itu bagi dia urusan pemerintah Myanmar.
"Kenapa soal Rohingya ditanyakan pada saya? Di Bangladesh sudah ada 300 ribu pengungsi, kami tidak bisa menerima lebih dari itu," ujar Hasina, seperti dilansir harian the Daily Star, Minggu (29/7).
Etnis Rohingya tinggal di perbatasan Myanmar dan Bangladesh sejak wilayah itu masih menjadi jajahan Inggris. Namun, saat kedua negara itu merdeka, mereka mendapat perlakuan buruk.
Walau sama-sama beragama muslim, etnis Bengal selaku mayoritas di Bangladesh enggan mengurus mereka. Hal ini menyebabkan banyak keluarga Rohingya nekat menetap di Myanmar.
Padahal sejak pemberontakan Jenderal Ne Win pada 1962, pemerintah Myanmar - saat itu masih bernama Burma - menolak memberi warga Rohingya kewarganegaraan. Alhasil, mereka tidak bisa bekerja, bersekolah, dan memiliki tempat tinggal. Kaum Muslim Rohingya tinggal dalam gubuk-gubuk plastik dan kardus dengan sanitasi buruk. Mereka juga hidup tanpa air dan listrik.
Stasiun TV Al Jazeera menyebut Muslim Rohingya adalah kelompok yang paling dilupakan di muka bumi. Mereka membuktikannya dengan video pemukiman Rohingya yang kumuh dan menyedihkan.
Al Jazeera juga menayangkan kaum Muslim Rohingya yang menyeberangi lautan ke Bangladesh. Tapi kemudian diperintahkan lagi kembali ke Myanmar oleh polisi penjaga pantai. Sebagian menangis saat polisi memberikan sekantung makanan dan memerintahkan mereka kembali ke Myanmar.
Tak banyak data berapa korban Muslim Rohingya yang tewas dibantai. Ada yang menyebut ratusan, ada yang ribuan. Data awal soal mereka memang sangat minim.
"informasi simpang siur. Akses informasi ke sana hampir tak ada," ujar pihak ACT.
Maka seperti biasa, twitter dan facebook akan ramai dengan dukungan pada Muslim Rohingya. Parlemen dan jalanan akan hangat oleh isu pembantaian Rohingya. Tapi hanya itu saja. Cuma teriakan kosong dari Indonesia untuk Rohingya.