Tahun Baru Hijriyah mengingatkan semua memori kita pada lembar peristiwa sejarah bertinta emas akan perjalanan Rasulullah dan para sahabat dalam melalui pintu gerbang hijrah serta menggugah pendengaran, penglihatan, dan qolbu semua mukmin untuk mendengar, melihat, dan merasakan betapa seriusnya Ummat pada masa lalu dalam melepaskan-mencampakkan-membuang jauh-jauh daki-daki kegelapan jahiliyah.
Hijrah Rasulullah dan para sahabat memiliki dua makna. Secara makani (fisik) artinya hijrah secara fisik, berpindah dari suatu tempat yang kurang baik menuju yang lebih baik, dari negeri kafir menuju negeri Islam. Adapun secara maknawi artinya berpindah dari nilai yang kurang baik menuju nilai yang lebih baik, dari kebatilan menuju kebenaran, dari kekufuran menuju keislaman; dari kegelapan tanpa cahaya petunjuk kepada cahaya tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Makna terakhir ini, oleh Ibnu Qayyim bahkan dinyatakan sebagai al-hijrah al-haqiqiyah (hijrah sejati). Alasannya, hijrah fisik adalah refleksi dari hijrah maknawi itu sendiri. Secara makani (fisik), faktanya Hijrah Rasulullah saw dan para sahabat berjalan dari Mekah ke Madinah menempuh padang pasir sejauh kurang lebih 450 km sedangkan secara maknawi jelas mereka hijrah demi terjaganya kesucian misi Islam.
Al-Qathani menyatakan bahwa hijrah sebagai urusan yang besar. Hijrah berhubungan erat dengan al-wala’ wal-bara’ (loyalitas dan berlepas diri). Bal hiya min ahammi takaalifahaa, bahkan ia termasuk manifestasi (muwalah) yang paling penting. Penting, karena menyangkut komitmen dan sikap seorang muslim dalam memberikan kesetiaan dan pembelaan pada Diennya. Juga menyangkut komitmen dan sikap seorang muslim dalam menampakkan penolakan dan permusuhan kepada yang patut dimusuhi.
Peristiwa Hijrah dijadikan penanda peralihan tahun dalam kalender Islam. Kali ke- seribu-empatratus-tigapuluhtiga umat Islam melewati masa yang terus berganti; detik, menit, hari, bulan, tahun ke tahun dengan berbagai kondisinya, menyadarkan bahwa pergantian masa merupakan alat ukur untuk mengevaluasi kemajuan diri kita. Karena memang kita diajarkan untuk itu, seperti tercermin dalam firman Allah SWT dalam QS. Al-‘Ashr : 1-3. Rasulullah SAW sendiri bersabda, “Sebaik-baiknya manusia adalah orang yang diberi panjang umur dan baik amalannya, dan sejelek-jeleknya-jeleknya manusia adalah orang yang diberi panjang umur dan jelek amalannya” (HR. Ahmad).
Genggam waktu dan raih prestasi !Secara syariat, siang dan malam itu terdiri dari 24 jam. Seberapa besar seorang mukmin muslim mampu mengggunakan waktu yang telah disediakan Allah tersebut? Jauh 1400an tahun lalu, para sahabat Nabi Muhammad SAW yang menjadi balatentara Islam ketika itu mampu menaklukkan dua imperium adidaya, Romawi dan Persia, yang balatentaranya amat kuat dan perkasa. Resepnya ternyata tersimpul dari pengakuan penuh kekaguman dari seorang anggota dinas intelijen Romawi setelah melakukan kegiatan mata-mata di Madinah. Kepada Kaisar Romawi ia mengutarakan kesannya tentang watak kaum Muslimin, “Ruhbananun bil-laili, firsaanun bin-nahar! Bila malam mereka tak ubahnya seperti rahib, sedangkan di siang hari sungguh bagaikan singa!”. Siangnya habis-habisan memaksimalkan potensi untuk berkarya, bekerja dengan jiwa yang kuat demi menggapai Ridha Rabbul ‘Izzati, malamnya bersimpuh memohon ampunan serta bimbingan Sang Penggenggam Hidup & Kehidupan untuk merencanakan dan melewati hari esok yang lebih baik, menampakkan betapa kotor dan lemahnya setiap jiwa dan langkah tanpa PetunjukNya.
Para sahabat diberikan waktu 24 jam sehari, begitupun dengan kita! Jika diibaratkan dalam sebuah lomba balap sepeda, ketika pistol diletuskan tampaknya orang yang menjadi juara dalam balap sepeda tersebut adalah orang yang dalam detik yang sama bisa mengayuh sepedanya lebih cepat daripada yang dilakukan oleh orang lain, sehingga calon pemenang akan melesat melalui pembalap yang lain karena energi yang dipergunakan dan ketepatan gerakannya lebih baik daripada detik yang sama yang dilakukan lawan-lawannya. Artinya, keunggulan itu sangat dekat dengan orang yang paling smart dalam memanfaatkan waktunya.
Islam adalah Dien yang paling dominan mengingatkan kita kepada waktu. Allah berkali-kali bersumpah dalam Al-Quran berkaitan dengan waktu. “Wal’ashri” (demi masa/waktu), “Wadhdhuha” (demi waktu dhuha), “Wallaili” (demi waktu malam), “Wannahaari” (demi waktu siang), “demi waktu fajar dan malam sepuluh”… Allah pun mendisiplinkan kita agar ingat terhadap waktu minimal lima kali sehari semalam; maghrib, isya, subuh, dzuhur dan ashar. Belum lagi tahajjud pada sepertiga malam dan shalat dhuha ketika matahari sepenggalahan naik. Apakah 24 jam yang dititipkan sementara pada kita sudah kita gunakan sebagaimana mestinya semampu diri kita sesuai dengan prosedurNya? apakah 24 jam yang dititipkan sementara pada kita sudah kita isi dengan perbaikan-perbaikan sehingga semakin meningkatkan kualitas iman terus-menerus seiring berjalannya muharram ke muharram? Sejauh mana kita sudah berhijrah, menuju sedekat-dekatnya jalan yang haq, meninggalkan sejauh-jauhnya jalan yang bathil.
Genggam waktu dan raih prestasi. Perubahan merupakan sebuah prestasi. Tentu saja perubahan ke arah yang lebih baik. Kita berpacu dengan waktu. Satu desah nafas adalah satu langkah menuju maut. Rugi bahkan celaka jika kita hanya banyak angan dan impian namun tidak bersegera beramal. Bermimpi masuk surga dan sejahtera kehidupannya namun tidak bersegera berubah memperbaiki diri. Muslim meriwayatkan sabda Rasulullah SAW dari Abu Hurairah yang cukup menyentil betapa perjalanan hidup ini penuh terurai lalai dan dosa “Segeralah kamu beramal, sebelum timbul fitnah (kekacauan, kebinasaan) seperti sepotong malam yang gelap gulita, dimana seseorang diwaktu pagi masih beriman sedangkan diwaktu sore telah menjadi kafir. Atau diwaktu sore masih beriman sedang diwaktu pagi telah menjadi kafir. Dijualnya Diennya karena mengharapkan sedikit keuntungan duniawi.“
Matahari berubah, bergeser dari timur ke barat setiap hari. Kalender yang tergantung di dinding terus berubah, bergeser dari tahun satu ke tahun berikutnya. Nasi yang senantiasa kita makan pun berubah, dari tanaman padi kecil yang hijau menjadi menguning, menjadi beras, nasi, dan bisa jadi basi. Bahkan setiap sel darah merah berubah, mengikat oksigen-oksigen baru yang kita hirup untuk nantinya oksigen juga berubah, membakar sel-sel mati di setiap divisi dalam tubuh kita yang berkepentingan untuk diciptakan kembali sel yang baru lagi. Hidup akan terus berlangsung jika ada perubahan. Berubah menjadi sebuah syarat mutlak diri yang hidup. Hidup dalam arti yang sebenarnya, dalam rangka meningkatkan kualitas iman di hadapan Penguasa-Pengatur-Pencipta alam semesta beserta isinya. Wallaahu a’lam bish Shawab.
“Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab, timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang. Dan bersiap-siaplah untuk pertunjukkan yang agung (hari kiamat). Di hari itu kamu dihadapkan kepada pemeriksaan, tiada yang tersembunyi dari amal kalian barang satu pun” (Umar al-Faruq r.a)
*Referensi penunjang:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar