Jumat, 20 Mei 2011

Pondok Pesantren “Perut Bumi” Tuban Jawa Timur



Sejarah lampau mencatat,Tuban adalah sebuah kota pelabuhan penting di Kerajaan Majapahit. Di abad ke-14,Tuban menjadi pintu masuk ke kerajaan terbesar yang pernah ada di Indonesia. Dalam sejarah penyebaran agama Islam di tanah Jawa, Tuban pun berperan penting. Para walisongo (para penyebar agama Islam di pulau Jawa berjumlah sembilan wali) dan wali-wali lain yang pernah ada, telah merambahi wilayah Tuban. Di pesisir Utara Jawa Timur itu, salah satu dari walisongo yaitu Sunan Bonang dimakamkan di kota ini.

Tuban berarti “Jeram” dalam bahasa Kawi, yang berarti air terjun. Di kota yang memiliki panjang pantai 65 kilometer itu memang terdapat air terjun yang terletak di kecamatan Singgahan (air terjun nglirip) dan di kecamatan Semanding ( air terjun banyu langse ).
Tuban berada kurang lebih 96 Km dari kota Surabaya. “Kota Seribu Gua”. Demikian sebutan lain dari kota berhawa panas ini. Di pusat kota Tuban terdapat Gua Akbar yang letaknya di dekat pasar. Oleh pemerintah setempat dijadikan obyek wisata alam. Di kecamatan Montong, di tengah kawasan hujan jati terdapat gua yang baru saja ditemukan yakni Gua Putri Asih. Selain itu ada juga Gua Ngerong, sebuah gua air yang memiliki sungai. Bagi para peminat selusur gua (caving) tak salah jika Tuban dijadikan tujuan utama.

Pesantren—tempat santri (murid) belajar mengaji Islam—juga bertebaran di Tuban. Seperti halnya Kediri, Jombang, Lamongan, Gresik, atau di beberapa kabupaten lain di Jawa Timur. Salah satunya Pesantren di Langitan (Tuban), yang dipimpin KH Abdullah Faqih, sebuah pesantren yang memiliki 5500 santri. Di kalangan NU (Nahdatul Ulama) dan perpolitikan nasional, Pesantren Langitan yang cukup penting. Para Indonesianis menyebut NU sebagai masyarakat Islam tradisional. NU adalah organisasi Islam terbesar di Indonesia dikenal lekat dengan dunia pesantren dimana nilai-nilai tradisi berusaha dijaga.
  Dari sekian banyak pesantren yang ada di Jawa Timur, tepatnya di Dusun Wire, Tuban, terdapat pesantren (ponpes:pondok pesantren) yang letaknya sangat ekstrem; yakni di dalam tanah.Tidak seperti kebanyakan pesantren lainnya yang biasanya berada di permukaan tanah.Tanah di Dusun Wire itu tergolong berbatu dan keras.Tak ada yang menyangka jika di dekat perumahan penduduk itu terdapat sebuah gua-gua. Di bawah tanah tandus dan berbatu-batu itulah di dalamnya terdapat gua-gua lokasi pesantren itu berada.
Saat tiba di sebuah pelataran luas yang tandus itu, saya tak mengira jika di bawah kaki saya terdapat gua-gua. Di depan gerbang pintu masuk, dibawah kibaran bendera hitam (bendera Imam Mahdi) bertuliskan huruf Arab, tertulis di papan nama: Pesantren Syeh Maulana Maghrobi. Nama ini diambil dari seorang wali (orang suci) yang dahulu pernah ada di tanah Jawa. Pesantren ini lebih dikenal dengan sebutan Ponpes Perut Bumi, untuk mewakili letaknya yang berada di dalam tanah. Istilah “perut bumi” dalam bahasa Inggris bisa diterjemahkan menjadi “earth bottom”.

Ponpes Perut Bumi berada di dalam tanah seluas tiga hektar. Menurut pengakuan KH Subhan Mubarok, pimpinan ponpes Perut Bumi, setelah menerima bisikan gaib di malam satu Suro tahun 2001, segera ia membeli tanah yang berada di Kelurahan Kedungombo itu. Dahulu tempat itu adalah tempat pembuangan sampah dan sarang ular. Setelah tempat itu dibersihkan, lalu KH Subhan menyulap gua temuannya menjadi ponpes yang unik dan berdaya tarik tinggi.
Ponpes Perut Bumi dipagari tembok setinggi satu meter.Sebuah cekungan luas berhias taman nampak terlihat, dengan dinding-dinding batu yang mendominasi, di beberapa sisinya nampak seperti mulut gua. Huruf-huruf arab terlukis di dinding tembok di seberang pintu gerbang. Saat menuruni undakan tangga, di sebelah kanannya ada sebuah tempat untuk wudlu (bersuci) dan toilet.
Kiranya 14 meter dari tempat wudlu terdapat mulut gua yang menjorok ke dalam. Di dalam gua ini terdapat sebuah ruangan besar yang digunakan untuk masjid. Tempat ini diberi nama Gua Putri Ayu—diambil dari nama “penghuni” yang diyakini menjaga gua tersebut. Gua ini mampu menampung 600 jamaah, lengkap dengan lampu neon. Di bagian belakang masjid terdapat lobang pintu dengan sebuah ruangan yang biasa digunakan untuk ritual semedi.

Di sebelah kanan mulut Gua Putri Ayu terdapat sebuah kamar berkarpet biru yang biasa untuk menerima tamu, lengkap dengan toilet. Di kamar ini saya sempat bertemu Asmuni, salah satu pelawak senior Srimulat bersama kru televisi lokal. Ia mengagumi keindahan tempat ini dan berniat mengunjungi Ponpes Perut Bumi lagi. “Saya baru mengetahui di Tuban ada pesantren seperti ini,” ujar Asmuni takjub. Pandangan matanya berkali-kali menyelidik dinding-dinding gua di kamar berbatu itu.
Di sebelah Utara gerbang utama terdapat lorong. Di kanan-kiri lorong terdapat lubang-lubang gua dengan lantai terplester, untuk sementara digunakan sebagai kamar-kamar santri. Di sebelah kanan lorong terdapat ruangan kecil tertutup pintu kecil yang jarang dibuka. Ruangan kecil itu difungsikan sebagai ruang bertapa.

Tak jauh dari tempat itu, terdapat ruangan khusus dengan lantai dilapisi karpet tebal. Ruang di gua ini mengingatkan saya pada setting film silat, seperti sebuah istana-istana jaman dahulu. Kiranya di ruangan 4X5 meter ini, KH Subhan biasa menerima tamu-tamu penting. Di balik ruangan ini masih terdapat gua-gua yang lain seperti petilasan Sunan Kalijaga dan Syeh Jangkung, dan bekas pijakan kaki Syeh Maulana Maghrobi. Ketiganya adalah para wali yang diyakini Abah pernah bertapa di gua itu. Di ruangan yang beratap rendah bernama Gua Atas Angin, digunakan untuk Taman Pendidikan Al Quran untuk anak-anak kecil.
Abah, panggilan lain KH Subhan Mubarok, sangat terbuka menerima tamu. Setiap hari orang datang silih berganti untuk meminta didoakan kiai atau sekadar melihat-lihat pesantren yang berada di Kecamatan Semanding itu. Seperti halnya Anton, seorang mahasiswa yang kuliah di Jakarta, sudah tiga hari tinggal di dalam gua. Ia meminta doa dan restu kiai Subhan agar bisa segera mendapat pekerjaan. Pada hari ketiga sang kiai menyuruhnya kembali ke Jakarta. “Uwis leh ndang mangkat to neng Jakarta, tak dongake lan iki gawanen ” (Udah ‘nak berberangkatlah ke Jakarta, saya doakan dan ini bawalah), ujar Kiai Subhan sambil memberikan kertas berisi doa-doa bertuliskan Arab, tangan kanannya memegang kepala Anton.
Mendirikan pesantren di bawah tanah (gua) bukanlah tanpa hambatan. Saat Abah mau mendirikan ponpes, Bupati dan Pemerintah daerah (Pemda) Tuban melarangnya; dengan alasan gua tersebut adalah milik (aset) negara. Tapi Abah tak menghiraukan peringatan Haeny Rini Widyastuti, Bupati Tuban. Abah tetap bersiteguh dengan prinsipnya dan pesan gaib yang telah ia terima. Dengan nada keras ia mengancam akan melawan pemda atau siapa pun yang berani mengambil alih gua temuannya. Gua tersebut memang berada di tanah yang telah berstatus milik Abah. Kasus ini pernah ramai di media massa.
Walaupun kesulitan dana, sampai saat ini Abah tetap berjuang membangun ponpes Perut Bumi yang berusia tiga tahun itu. “Ayo-ayo awan-awan ora podo turu, wektune nyambut gawe,” perintah Abah menyuruh santrinya untuk merapikan batu-batu di atas gua. Pembangunan pesantren itu telah menghabiskan dana 1,4 Milyar rupiah. Dana ia peroleh dari menjual beberapa mobilnya dan diambil dari kantongnya sendiri, serta sumbangan-sumbangan dari beberapa pengusaha di Jawa Timur. “Untuk mendirikan ponpes ini saya tidak menolak sumbangan dari manapun,” aku kiai kharismatik ini. Abah hanya berprinsip ia tidak pernah meminta-minta sumbangan.
“Siapa saja yang pernah menyumbang ponpes Perut Bumi?” tanya saya.“Farida Pasha, seorang artis sinetron,“ jawab Abah. Farida Pasha adalah pemeran tokoh Mak Lampir dalam sinetron seri Misteri Gunung Berapi. “Ia salah satu penyumbang rutin diatas satu juta rupiah untuk pembangunan ponpes Perut Bumi,” aku Abah. Sementara R. Hartono, seorang jenderal dimasa pemerintahan Suharto, pernah menyumbang 20 juta rupiah untuk membantu membeli tanah di sekitar ponpes. Sumbangan lainnya ia terima dari kotak amal yang tersedia di gua. Sebagian lagi sumbangan dapat dari salaman tempel dari para tamu yang “berkonsultasi”.
Kesan keras memang tergambar dari raut wajah Abah. Abah adalah seorang kiai yang sederhana. Dalam kesehariannya Abah tetap turun tangan mengangkat batu dan membantu para santri membenahi gua. “Kalau tak ada tamu biasanya Abah hanya memakai singlet dan bercelana pendek kerja bersama kita,” ujar seorang santri bernama Adityawarman.

Abah bukanlah penganut Islam garis keras. Prinsip keberagaman ia simbolkan dari beragam batu yang menyusun gua-gua di ponpes Perut Bumi. “Di sini ada berbagai macam bebatuan yang bercampur menjadi satu”, ujar lelaki asal Modo, Lamongan. Abah pun tak pernah membeda-bedakan etnis atau latar agama para tamunya. “Di pesantren ini,” tutur Abah, “diajarkan untuk menghormati agama-agama selain Islam, kami ingin meng-islah-kan (merukunkan) umat beragama di Indonesia,” ujar lelaki yang berusia 58 tahun.
Metode pendidikan Pesantren Perut Bumi mengacu pada kurikulum Langitan. Di sini kitab kuning, fiqih (hukum Islam), ilmu Hikmah, tasawuf (mistik Islam), serta ilmu kanuragan (bela diri) dan tenaga dalam diajarkan untuk para santri. “Ajaran Perut Bumi bukanlah ajaran sesat dan keras, di sini mengacu pada Al Quran dan Hadist Nabi (Muhammad),” ujar kiai ini dengan nada tegas. “Di sini pun tidak diajarkan untuk merusak atau membunuh,” jelas kiai yang pernah menimba ilmu di berbagai pesantren termasuk Langitan. Abah masih melanjutkan,“Tujuan dirikan pesantren untuk membina santri agar berakhlak bagus dan berbudi Timur.” Dalam tasawuf memang dikenal sebagai aliran Islam yang sangat toleran terhadap keberagaman beragama.
Tempat ini bukanlah tempat tujuan wisata. Tempat ini juga bukan sebuah gua yang biasa dikeramatkan dengan sesaji layaknya tradisi di Pulau Jawa. Di sinilah tempat para santri digembleng belajar Ilmu agama Islam (Tauhid). Di tempat ini telah 18 pecandu narkoba disembuhkan Abah. Hingga saat ini Abah masih membatasi jumlah santri yang akan belajar di Perut Bumi. Abah ingin merampungkan ponpes yang masih dalam proses membangun.
Selain untuk mengaji, pada malam Jumat Pon, tepat jam 12 malam di pesantren ini biasa diadakan isthigosah (dzikir dan doa bersama) yang terbuka untuk umum. Siraman ruhani dan pesan-pesan kedamaian sering diutarakan Abah kepada para tamunya. Abah termasuk kiai yang mengecam tindakan pengeboman di beberapa tempat di Indonesia. Abah sangat membenci orang-orang yang nekad membunuh dan merusak atas nama agama.

Soal politik nasional Abah tidaklah buta. Abah bersama 46 kiai lainnya (termasuk KH Abdullah Faqih dari Langitan) adalah pendukung Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dalam sebuah tabloid di tahun 2000, ia pernah meramalkan bahwa wahyu kepresidenan ada pada SBY. “Wahyu itu setelah beralih dari Bung Karno berpindah ke Suharto, saat ini wahyu itu diterima Yudhoyono, sekarang terbukti kan!” ujarnya bersemangat. Menurutnya Habibie, Gus Dur, dan Megawati bukanlah presiden yang mendapat wahyu. “Mereka hanya presiden yang mengisi kekosongan,” jelas Abah. (akubaskoro.blogdrive.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
back to top